Bunda
Pewarnaan :
1.
Penunjuk Adegan Tokoh : Red, Pink, Green, Purple, Gold
2.
Dialog Dalam Hati : Yellow Bold
3.
Awal Babak : Blue Bold
4.
Awal Paragraf Pengantar : Black
Bold
Mereka adalah lima bersahabat.Yuko, Shania, Dika, Adhit, dan Bobby
selalu menghabiskan waktu luangnya untuk berkumpul bersama, sekadar untuk refreshing atau bercerita satu sama lain
tentang keluh kesah mereka.
Suatu hari mereka diberi tugas sekolah yaitu untuk mementaskan sebuah
lagu dengan diiringi alat musik.Dan secara kebetulan atau apakah mereka
dapat satu kelompok. Mereka pun senang,
dan mereka mulai berlatih agar penampilan kelompok mereka bagus.
Di Ruang Theater, Yuko yang sedari tadi
kesal karena harus memainkan pianika dan nadanya tidak kunjung jadi, diledeki
oleh Dika yang risih dengan celotehannya.
Yuko : (menghentikan
permainannya) “Ihhh... ini gimana sih susah banget gak jadi jadi (mengerutkan wajahnya).”
Dika : “Eh, Yuko. Lho tau gak,
kalo lho lagi manyun tuh jelek banget! Kaya ibu-ibu yang mukanya udah mulai
keriput kaya nenek-nenek. Hhahahah (tertawa terbahak
bahak). ”
Yuko : (menatap
Dika) “apa loe bilang? Loe nyamain gue sama nenek-nenek, hhaah?? (mencubit tangannya, kesal). ”
Dika : (kesakitan)
Bobby yang duduk di sebelahnya sedang menghafal lirik lagu pun ikut-ikutan
meledek Yuko.
Bobby : (memalingkan
wajahnya dari naskah lagu, memberikan kaca kepada Yuko) “Iya Yuk, liat
deh nih di kaca. Lucu banget! Hahhahah (Ikut
tertawa)”
Yuko : (Matanya
melotot, memecahkan kaca yang diberikan Bobby)“Eh luh mau gue cubit
juga.”
Bobby : (memelas)
“ampun Yuk, ampun.”
Yang sedari tadi izin ke belakang untuk pergi ke Kamar kecil. Shania,
salah satu dari anggota kelompok, tiba tiba datang memcah kebisingan.
Shania : (melerai) “Eh, eh. Ada apa sih nih. Berisik banget, bukanya
fokus latian juga.” (melihat pecahan kaca)
“Ya ampun, kaca kesayanganku pecah? Siapa ini yang nglakuin? (setengah berteriak)”
Yuko : (langsung
berjalan menghampiri Shania) “Bobby tuh, sama Dika juga, gara-garanya.”
(menunjuk Bobby dan Dika)
Bobby : (Sedikit
berbisik, takut) “Mati kita, Dik.”
Dika : (nada
pelan) “Sstt, nanti mereka denger.”
Shania : “Eh, Sini kalian
berdua.”
Bobby, Dika : (sedikit bingung)
“Kok kita sih?” (bertatapan muka, telunjuknya menunjuk dirinya sendiri)
Dika : “Yang mecahin kaca kan
bukan kita, tapi Yuko tuh!” (menunjuk Yuko)
Shania : “Ya itu karena ulah
kalian kan, iya kan? Udah deh sekarang latihan yang bener.”
Bobby : “Kamu juga latihannya gak
bener. Ke WC aja lama banget. Dasar Moduss!!”
Yuko : “Udah ah berantemnya.
Mendingan sekarang kita latihan lagi biar cepet jadi. Yuk!”
Adhit : (kesal)
“Tau, berantem mulu gak capek apah?”
Dengan perintah Yuko, semuanya manggut-manggut tanda mengerti.
Mereka pun latihan dengan serius dengan diiringi bercanda. Sungguh indah
persahabatan mereka. Tampak tak ada celah diantara mereka. Selalu kompak dalam
menghadapi suatu masalah. Dan dapat memahami kekurangan satu sama lain dan
melengkapinya bersama sama.
Tetapi akankah mereka sadar? Sosok yang dikenal periang dan galak
seperti Yuko. Mengidap suatu penyakit yang cukup berbahaya dan sudah
divonis hidupnya tinggal beberapa bulan lagi oleh Dokter. Apalagi dia hidup
tanpa kasih sayang orang tua kandungnya sendiri. Yang katanya Ayahnya pergi
untuk mencari nafkah ketika Ibunya sedang mengandungnya. Sementara itu, Ibunya
juga menyusul ketika ia baru berumur 8 tahun. Yuko pun diasuh oleh Paman dan
Bibinya dari kecil. Dan sampai sekarang, Ibunya hanya berkomunikasi dengan perantara
media massa saja.
Yuko memang pandai sekali menyembunyikan masalahnya, walaupun sesekali
hampir terbongkar. Sudah sering Yuko sampai mimisan di mana-mana. Apalagi
dia suka melamun di dalam kelas, mungkin dia terpuruk karena kurang perhatian
dan kasih sayang orang tuanya. Sahabatnya selalu bertanya mengapa, tetapi Yuko dengan
seribu akalnya selalu dapat menyembunyikannya.
Adhit : (mengakhiri
latihannya) “Eh latihannya udahan yuk. Aku capek nih.”
Shania : “Iya yuk. Aku juga udah
janji mau nemenin mamah shoping, sekalian
aku juga.(sedikit bingung) “Eh, tunggu-tunggu.
Kaya ada yang kurang deh.” (celingukan)
“Yuko mana yah.”
Bobby : “Lha tadi kan ke WC,
gimana sih. Cantik cantik, tapi pikun.”
Shania : (memanyunkan bibirnya) “Iihh.. Bobby gitu deh sama aku. Ya udah
deh, nanti aku ke mall gak aku beliin
cokelat!”
Adhit : ( tertawa senang) “Ahahaha. Rasain luh Bob!”
Bobby : “Ya udah deh aku
ngambek.” (mendadak pergi membawa tasnya)
Yuko : (muncul
dengan tiba-tiba) “Haii, semuanya-” (melihat
Bobby) “Eh, kenapa tuh anak, mukanya di tekuk gitu.”
Dika : “Ah biasalah, Bobby kalo
ada maunya emang gitu.”
Yuko : (manggut-manggut)
“Eh ini gimana latiannya.”
Adhit : “Ini udah pada capek jadi
udahan mau pada pulang. Kamu mau pulang gak? Ato mau jadi penunggu Sekolah?”
Yuko : (langsung
sewot) “ Enak aja. Ya pulang lah, gimana sih.”
Adhit : (dengan
tangan memohon bergaya peace)
“Just kidding, Yuko!”
Shania : “Ya udah yuk. Aku juga udah
dijemput tuh. Yuko, kamu mau bareng gak?”
Yuko : “Ehm, gak deh. Aku jalan
kaki aja. Kan rumah aku deket.”
Shania : “Beneran nih, gak papa?
Deket-deket kan rada jauh juga.” (berfirasat buruk)
Yuko : (mengangguk
pasti)
Semuanya pun berbondong-bondong meninggalkan ruang kelas. Yang mana
Sekolah pun juga akan di tutup karena semua penghuninya satu per satu
meninggalkan Sekolah yang berlantai 4 itu.
Di pertengahan jalan. Yuko yang
sejak di Sekolah tadi mersa pusing, tiba-tiba hidungnya mengeluarkan darah segar
walaupun sedikit tetapi dia hampir pingsan. Tubuhnya sudah gentayangan hampir
sudah tidak bisa ditahan lagi.
Beruntungnya, Shania yang melihat Yuko yang hampir pingsan itu langsung
turun dari mobilnya untuk menolong Yuko.
Shania : (berteriak dan melambaikan tangannya) “Yuko!”
Yuko : (melihat
lambaian tangan Shania dengan pandangan samar samar, dia tersenyum)
Shania : (berlari menghampiri Yuko)
Yuko : (suaranya
melemah) “Eh, jangan lari-lari. Nanti kalo jatuh aku gak bisa nolongin.
Harusnya kan kamu yang nolongin kalo aku udah jatuh nanti.”
Shania : (kesal. Firasatnya semakin kuat) “Ih, Yuko mah gitu. Gini-gini
aku juga kan bisa lari. Eh, tunggu. Maksud omongan kamu yang terakhir itu apa
sih, aku gak ngerti?”
Yuko : “Gak papa kok.” (menggelengkan kepalanya)
Shania : “Huhh” (memanyunkan bibirnya) “Ya udah yuk, ikut aku
pulang. Kamu gak usah cari-cari alesan lagi buat nolak. Aku khawatir sama kamu,
tadi aku liat kamu hampir pingsan di jalan.” (langsung
membawa Yuko ke dalam mobilnya)
Yuko : “Eh, eh. Pemaksaan ini
namanya. Nanti aku laporin ke Komnas HAM loh.”
Shania : (dalam hati) “Yuko, Yuko. Dalam
situasi kaya gini kamu masih bisa melucu juga. Aku tau kamu lagi sakit, masih
juga masih menghibur sahabatmu. Aku berjanji, Yuko. Aku akan selalu memberikan
bahuku untuk kamu bersandar.”
Langsung diinjaknya pedal gas mobil oleh Ibunya Shania.
Dan dalam sekejap, sampailah mereka di
rumah Yuko.
Yuko : “Makasih ya, Shan.”
Shania : “Iya sama-sama. Udah ya,
aku langsung pulang aja, soalnya udah sore. Bye
Yuko. Jaga diri baik-baik ya.”
Yuko hanya tersenyum, sedikit berfikir karena tidak mengerti kalimat
terakhir yang diucapkan Shania. Kemudian dia langsung masuk ke dalam
rumahnya untuk merebahkan tubuhnya yang sangat lemas.
Keesokan harinya adalah hari minggu.Mereka berlima membahas tugas mereka itu.
Kemudian rencananya mereka akan latihan di Rumah Yuko.
Di ruang tamu rumah Yuko.
Yuko : (muka
malas, terus membolak-balikan buku novelnya dan memutar-mutar ulang music yang sedang didengarkannya. Lalu
tersentak kaget) “Hhah, apaan nih. Ini kan-”(dibukanya
sesuatu yang membuat penasaran) “Iin-inii..kan..” (terbata) “Surat yang mau aku kirim ke Ibu? Ini,
ternyata disini.”
Kemudian dibacanya surat itu, yang merupakan puisi yang ditulis Yuko
untuk Ibunya ketika dia sedang sedih. Waktu itu hari dimana Yuko sangat
rapuh. Ketika dia mendengar akan vonis Dokter. Tentang usianya yang hanya
beberapa bulan lagi. Kemudian dia membuat puisi untuk Ibunya, dan berniat untuk
dia kirimkan kepada Ibunya. Tetapi setelah selesai menulis, Yuko lupa
meletakkannya dimana. Akhirnya dia pun semakin rapuh dan dia sudah putus asa
dalam menjalani hidupnya.
Yuko : (dengan
lantang membaca puisi itu)
Baru selesai satu judul , dia mendengar bel rumahnya berbunyi. Di pun
tersentak kaget karena langsung Dika membuka pintu.
Dika : (membuka
daun pintu) “Ini dia nih Ratu kita. Ratu tergalak di Dunia. Hah, sadis.”
Yuko : (suara
malas, surat itu langsung disimpan rapat rapat olehnya) “Udah deh Dik.
Aku lagi males berantem. Sanalah kamu menyingkir.”
Dika : “Tuh, kan. Baru juga
dibilang. Dasar sadis.”
Bobby : “Hah, Yuko-yuko. kapan
yah kamu bisa berhati lembut. Kaya Shania tuh.” (menunjuk
Shania)
Adhit : “Eh udah-udah. Kalian mau
diterkam sama Yuko. Mungkin dia lagi haus darah. Jadinya gitu deh.”
Yuko : (hanya
diam, tidak mau menggubris ledekan para sahabatnya)
Dika : “Eh, eh. Shania dateng.
Pasang muka keren dulu.”
Shania : “Apa sih kamu Dik.
Hhehh.” (muka bete)
Adhit : “Hahh. Yang lagi
dicukein. Enak ya.” (menyindir)
Dika : (kesal)
Adhit : “Udahlah yuk kita latian
biar cepet selesai nih lagu. Let’s come
here guys, kita merapat.”
Shania : “Tumben, Bob. Ide kamu
bagus.”
Bobby : “Ide bagus dikatain, ide
jelek apa lagi. Gimana sih yang bener?” (kesal.
Langsung mengambil posisi untuk latihan)
Shania : (puas meledek Bobby) “Ya udah yuk mulai. Yuko, kasih
aba-abanya!”
Yuko pun melaksanakan perintah Shania, dan semuanya sudah dalam posisi
mereka masing masing.
Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku selalu di manja
Kata mereka diriku selalu di
timanng
Nada nada yang indah
Selalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Telah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Kata mereka diriku selalu di manja
Kata mereka diriku di timang
Oh bunda ada dan tiada dirimu kan
selalu ada di dalam hatiku
Latihan pun selesai. Aransemen sudah jadi dan siap untuk
ditampilkan esok hari. Tapi, kelihatannya Yuko tidak senang. Dika pun sudah
mengambil ancang ancang untuk meledek Yuko, begitu pun Bobby dan Adhit tak
kalah gemasnya dengan Dika ingin meledek Yuko.
Shania : “Udahlah kalian pergi
aja. Yuko itu lagi sa-”
Yuko : (menginjak
kaki Shania)
Shania : (reflek) “Aw, sakit tau.”
Dika : “Ah sudahlah, tak jadi.
Ayo kita ke keluar saja. Mungkin ini masalah mereka berdua. Biarlah mereka yang
tau.”
Bobby, Adhit : (menganggukmanyun)
Kemudian ketiganya pergi mninggalkan mereka.
Shania : “Yuko. kamu kenapa sih,
cerita dong sama kita kalo lagi ada masalah. Seenggaknya kita kan bisa bantu
walau sedikit.”
Yuko : (mengggeleng)
Shania : “Apa ini ada kaitannya
sama Ibu kamu?”
Yuko : (menghela
nafas panjang)
Shania : “Maaf, Yuk. Bukannya
aku-”
Yuko : (memotong
ucapan Shania) “Gak papa kok, Shan. Mungkin ini udah jalan hidup aku.
Hidup tanpa sosok orang tua seutuhnya.”
Semuanya diam. Suasana menjadi hening. Tanpa sepengetahuan mereka.
Dika, Bobby, dan Adhit memnguping pembicaraan mereka dari balik pintu. Mereka
sudah hafal dengan tingkah Yuko jika ia sedang tidak mood.
Jika Yuko sedang sedih, ia selalu berpikir. Mengapa dia harus
digariskan hidup seperti ini. Selalu merasa sendirian dalam keadaannya yang
seperti itu. Dia tidak mau merepotkan orang lain. Selalu memendam masalahnya seorang
diri. Padahal sahabat-sahabatnya selalu ada untuknya. Tetapi dia tetap saja
keras kepala. Dia tidak ingin sahabatnya ikut campur ke dalam masalahnya. Tidak
ingin Yuko kehilangan senyum para sahabatnya hanya karena harus ikut
mengeluarkan air mata untuk dirinya.
Disaat dia akan mengatakan penyakit yang selama ini ia sembunyikan,
Ibunya malah menutup teleponnya. Jarang-jarang dia bisa mendengar suara
Ibunya selama bertahun-tahun lamanya, apalagi Ayahnya. Yang dia tau, Ayahnya
itu adalah Pamannya.
Tetapi Yuko itu tipe prang yang kuat. Pantang menyerah dalam
menghadapi masalah, walaupun terkadang ia rapuh. Selalu tersenyum untuk
menutupi masalahnya. Dia percaya, bahwa pasti akan ada hikmah dibalik
kesusahannya. Karena prinsip hidupnya adalah Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian. Semua pasti akan indah pada waktunya, karena apa
yang kita inginkan dalam hidup itu butuh proses. Dia tau bahwa Tuhan adalah
hakim yang paling adil.
Bobby dan yang lainnya yang sedari tadi
menguping lalu tiba-tiba terjatuh dan pintu terbuka.Bobby yang
kebetulan bertubuh paling besar pun menindih kedua sahabatnya yang tubuhnya
lebih kecil darinya.
Shania, Yuko : (menoleh)
Bobby : (meringis
kaget) “sorry, kita sengaja.”
Adhit : (mencubit
tangannya) “Isshh Bobby, dasar. Jadi ketauan kan.”
Kemudian mereka bertiga bangkit dan
berjalan menghampiri keduanya.
Dika : (duduk
di sebelah Shania menghadap Yuko) “Yuko, aku tau kamu orang yang kuat.
Walaupun kamu gak pernah cerita ke kita. Aku yakin, kamu pasti gak bisa
memendam semuanya sendirian. Karena itu akan membuat kamu sakit sendiri.”
Yuko : (mengangkat
kepalanya)
Adhit : “Iya, Yuk. Cobalah kamu
cerita ke kita. Siapa tau kita bisa bantu.”
Yuko : (menyandarkan
kepalanya di bahu Shania) “Temen-temen, kenapa sih hidup aku kaya gini
banget. Sejak kecil aku udah di tinggal Ayah. Terus waktu aku SD, aku di
tinggal Ibu entah kemana dia pergi. Aku gak pernah mendapat kasih sayang dari
mereka. Aku ingin bertemu dengan mereka, sekali pun itu di dalam mimpi, dan
meskipun mereka hanya berucap satu kata.” (matanya
berkaca-kaca)
Shania : (mengelus kepala Yuko) “Yuko, kamu yang sabar ya. Kita akan
selalu ada untuk kamu. Dalam suasana apapun itu. Kita akan selalu bersama-sama,
sampai kita...akan pergi satu persatu.”
Satu persatu dari mereka melajutkan Ikrar persahabatan mereka.
Dika : “Sampai kita meraih impian
kita, setelah kita mengukir asa bersama-sama dulu. Kamu ingat kan, waktu itu?”
Bobby : “Waktu dimana kita
pertama menjadi sahabat. Dimana hari itu adalah hari yang sangat cerah, secerah
hati kita masing-masing.”
Adhit : “Hari itu adalah hari
yang sangat mengerikan dalam hidup kamu kan, Yuko? Lalu kita bersama-sama
mengucapkan Ikrar untuk menjadi Sahabat.”
Yuko : “26 November 2013. Aku tidak
pernah melupakannya. Saat-saat aku diambang ketakutan terdalamku. Dan hanya
kalian yang dapat mengerti perasaanku. Terima Kasih kalian telah menjadi bahu
untukku bersandar.”
Dika : “Yuko, kamu gak usah
terlalu memanjakan sesuatu yang kamu senangi. Kita seperti itu karena kita
tulus menyayangi kamu.”
Shania : “Iya Yuko, bahagia itu
sederhana. Karena sebuah kata yang terbaik dalam hidup ini adalah-”
Shania, Dika, Bobby, Adhit :
“Kesenangan.”
Bobby : (memulai
ketusnya) “Tuh kan kita kompak banget. Lho, Yuk. Kamu kok gak ikutan sih
tadi. Ihh, blangkopak deh. Bilang sehati tapi gak kompak.”
Yuko : (mulai
dengan aksinya) “Iihh, Bobby-” (tangannya sudah
siap mencubit, wajahnya mulai melukiskan keceriaannya)
Bobby : “Nah, gitu dong, kan enak
diliat.” (langsung memotong ucapan Yuko karena takut)
Shania : “Iya, Yuk. Pokoknya
besok-besok kamu harus cerita sama kita-”
Dika : “Tentang kesedihan kamu.”
(nada cepat)
Shania : “Dika! Baru juga aku mau
ngomong itu.”
Adhit : “Aaaa, cie cie. Kompak
banget sih.”
Shania : (mukanya memerah)
Dika : (tersenyum
geli)
Kemudian semuanya tertawa bersama. Kekalutan yang dirasa Yuko pun
perlahan menghilang seiring candaan yang mereka lontarkan satu sama lain.
Setelah semuanya mersakan lelah, akhirnya mereka pun pulang utntuk
persiapan performance esok hari. Terutama
Yuko yang sedang tidak enak badan.
Keesokan harinya di Sekolah.Bel
masuk sudah berbunyi. Guru Kesenian langsung datang tepat waktu. Takut-takut
kalau waktu tampil tidak cukup. Dan Kelompok Yuko pun akhirnya mendapat giliran
untuk penutup.
Yuko : (memulai
perkenalan) “Assalamu’alaikum wr.wb. kami dari kelompok 6 akan
menampilkan sebuah Lagu yang berjudul, Bunda.”
Di pertengahan, tiba-tiba kepala Yuko sangat pusing. Kemudian
cairan berwarna merah jatuh dari lubang hidungnya. Refleks, dia pun menjadi
tidak konsentrasi memainkan alat
musik. Kemudian dia keluar secara tiba-tiba, membuat orang-orang sekelas
bingung dibuatnya. Terutama Shania, dia berpikir bahwa penyakitnya kambuh.
Kemudian dia menyusul Yuko karena khawatir.
Yuko : (keluar
kelas)
Shania : (kaget, lalu mengikutinya)
Dika, Bobby, dan Adhit : (hanyadiam)
Di luar kelas, Yuko menyumbat hidungnya
dengan menggunakan sapu tangan favoritnya. Yang merupakan peninggalan terakhir
dari Ibunya.
Shania : “Yuko, kamu kenapa. Kamu
mimisan? Kenapa Yuko, kenapa kamu gak pernah cerita ke kita perihal ini. Apa
ada yang salah sama kita. Kalo gitu kita minta maaf.”
Yuko : “Apa sih Shania. Ini udah
biasa kok.”
Shania : “Biasa apanya. Aku udah
sering lihat kamu kaya gini. Kamu nyembunyiin apa dari kita, Yuko?”
Mendengar kebisingan diluar, dengan cepat, Dika,
Bobby, dan Adhit ikut keluar dengan instruksi dari Dika.
Adhit : “Ada apa nih?”
Yuko : “Maafin aku temen-temen.
Gara-gara aku, penampilan kita gak bagus. Padahal kemarin kan udah jadi
latihannya.”
Dika : (mendadak
serius, wajahnya berubah 180 derajat) “Kamu emang harus minta maaf Yuko.
Gara-gara kamu ngeyel sama kita. Kamu jadi kaya gini kan.”
Semuanya menoleh heran ke arah Dika.
Shania : “Dika, kamu gimana sih.
Yuko nya lagi sakit kamu malah marahin dia.”
Adhit : “Iya sabar dikit, Dik.”
Dika : “Aku bukanya marah Shan.
Aku itu gemes sama Yuko. Aku emang selama ini selalu keliatan melucu di hadapan
kalian. Karena apa? Itu semua untuk menghibur Yuko. Apa selama ini kalian tau
Yuko itu sakit apa? Enggak kan!?”
Semuanya semakin penasaran. Mereka pun mendengarkan penjelasan Dika
dengan seksama.
Shania, Bobby, dan Adhit : (menggelengpenasaran)
Yuko : (tersentak
kaget) *dalam
hati* “Apa Dika tau semua ini?”
Dika : (flashback)
“Hari itu, aku liat Yuko terburu-buru berjalan untuk mencari kendaraan. Terus
aku penasaran. Aku ikutin dia, tau-tau sampe Rumah Sakit. Terus.... aku ikutin
dia sampe ke Ruang Dokter Spesialis Darah. Aku menguping pembicaraan mereka.
Lalu aku sangant kaget, kalo aku denger, ternyata Yuko mengidap Kanker Darah
dan dia-”
Perkataannya terpotong oleh Yuko yang tiba-tiba sesak nafas.
Shania : (khawatir) “Yuko,
kamu kenapa Yuko?”
Yuko : (bersandar
di bahu Shania) “Aku ingin kalau kalian selalu ada untukku. Selalu
tersenyum untukku. Karena saat kalian tersenyum, hatiku hangat terselimuti surya. Shania, kamu
adalah yang paling deket sama aku. Aku ingin kamu selalu tersenyum untukku dan
semuanya. Dika, aku ingin kamu selalu membuat semuanya tertawa dalam keadaan
apapun. Bobby, Adhit, aku ingin kalian menjaga kita. Aku gak ingin kalo kalian
sampai menintikkan air mata kesedihan kalian.” (suaranya
melemah, matanya mulai berkaca-kaca)
Shania : “Jangan bicara seolah kamu tahu apa yang akan terjadi
dalam hitungan waktu kamu berikutnya! Sama.. Kamu juga gak boleh, mendahului
kehendak Tuhan, dengan ucapan kamu itu!”
Yuko
: “Aku... (mulai tidak
bisa mengendalikan sesaknya) .. aku.. gak ngeduluin kehendak Tuhan!...
dan.. aku juga.. gak pernah tahu... apa yang akan... aku alami... disetiap..
perubahan waktu dalam perjalanan.. kehidupan aku!...”
Mendengar suara Yuko yang semakin menurun membuat
mereka semua ada di dalam ketakutan terdalamnya.Dika, Bobby, dan Adhit hanya memandang Yuko dengan tatapan iba, sudah tak
bisa berbicara apa-apa lagi.
Ditambah, detik berikutnya. Shania merasakan bahu yang sedang Yuko sandari, basah, dan terasa dingin.
Shania melihat dengat sudut matanya
untuk tahu apa yang membuat bajunya basah, apa yang begitu terasa dingin itu.
Air matanya menderas. Saat dia bisa melihat apa yang ada dibahu kanannya.
Kembali, cairan berwarna merah, mengalir dari hidung Yuko, terlihat terus
mengalir.
Shania : “Yuko, kami,
akan selalu ada untukmu. Aku tahu kamu itu orang yang kuat. Kamu harus
bertahan, untuk kami, dan untuk semua orang yang menyayangimu. Tunjukan sama
Tuhan, tentang ketegaran kamu, dan ketidakmenyerahan kamu atas sakit
yang Dia berikan!” (memeluk
Yuko dalam dalam)
Yuko :
“...Maa...aafin... aku.. semuanya..., Maka..sih... untuk... semuanya...
Terima... kaasihhh...”
Tangsian pun akhirnya tak bisa dibendung lagi setelah
mata mereka berkaca-kaca. Semakin deras, mendengar kata-kata
terakhirk Yuko dengan suara yang sangat lirih, Shania merasakannya. Dan dia
melepaskan pelukannya. Dan Yuko pun tersenyum, menikmati saat-saat terakhirnya
bersama orang-orang yang dia sayangi.
Yuko : (menutup mata perlahan)*dalam hatikata-kata terakhirnya*
“Tenang... sangat tenang. Rasanya sangat ringan saat aku memejamkan mataku, dan
semuanya pun menjadi putih. Terima Kasih atas semua yang Engkau berikan. Tuhan,
jagalah mereka.. Sang Matahariku.”
Yuko pun akhirnya pergi dengan meninggalkan air mata
para sahabatnya. Sebuah penyakit yang selalu ia
sembunyikan, ternyata malah sudah diketahui sejak awal ia divonis. Sungguh
malang kehidupan Yuko.
Hidup itu selalu
berputar. Terkadang di atas, dan terkadang juga di bawah. Ada kalanya kita
sedang berada di atas. Dan kita pun nantinya akan berada di bawah, roda sang
pedati.-End-